The Creation Of Adam (1511) By Buonarroti Michelangelo

The Creation Of Adam (1511) By Buonarroti Michelangelo
Manusia selalu mencari jawaban atas pertanyaan yang tak pernah selesai : Kenapa Tuhan menciptakan manusia ?

Jumat, 09 September 2011

Ratapan Uzair

Uzair duduk termangu di kursi taman yang menghadap pada sebuah sungai yang jernih yang membelah daratan. Jembatan gantung menghubungkan kedua sisi yang terpisah. Tempat yang berulang – ulang ia datangi, sepertinya sudah menjadi kursi ratapan tempat ia bermunajat dan melepas penat. Sore itu, ia tiada selera maupun gairah. Bak lesu darah, lemas terhisap lintah. Pikiranya kacau, matanya kosong, wajahnya tirus menatap air yang mengalir melintang menuju laut. Kepalanyanya tertumpu pada tangan yang mengepal berurat meninju pipi beralas paha. Dari kursi itu, pandangannya menyapu sekitar, ia lihat hewan – hewan. Sepasang burung terbang beriring mencakar langit hinggap di dahan pohon yang berdiri subur, seekor tupai melongok lewat sebatang kayu, barisan semut berjalan rapih. Uzair berkata pada diri sendiri, Aku ingin menjadi burung – burung itu, tupai, semut atau dahan pohon, lepas dari masalah, hilang akal & jiwa, tinggal naluri untuk memenuhi kebutuhan.

Seorang wanita duduk di seberang memperhatikan. Dahinya mengernyit, melihat seorang pemuda yang begitu lemah seperti tak bertulang. Seraya bertanya “Apa yang membuatmu begitu lesu dihari yang cerah ?”

Uzair menjeleskan, “Pernahkah kau merasakan saat – saat yang membuatmu cemas, panik, takut. Merasa bodoh, tidak berguna, gagal. Semua menekan kehidupan. Tidak ada ketenangan & kenyamanan. Apalagi diperparah dengan kesendirian, tiada yang menemani, tempat bersandar walau sekedar bercurah hati. Rasanya kita berdiri sendiri dihantam raksasa yang begitu besar, cobaan yang menyayat batin dan menurunkan mental.
Terbuang atau membuang dari kerumunan. Membuat dunia sendiri. Membayang sendiri. Tak ada karya tercipta. Mati terhina. Putus asa terhadap diri. Kecewa kepada diri. Berbeda dengan kebanyakan, merasa rubuh dan terkubur. Aneh, tiada makna.
Aku ingin tidur dan tidak pernah bangun kembali. Hidup di dalam mimpi, bisa mencipta sesuka hati. Atau tiba – tiba mati tanpa alasan dan rasa sakit. Biar kehidupan ini selesai. Terkadang manusia menyesal menjadi dirinya sendiri atau memang selalu begitu. Tetapi Tuhan tak pernah memberi jawaban secara verbal, kecuali kepada nabi. Kenapa Dia menciptakan manusia, itu menjadi misteri yg begitu dalam dan gelap.”

Matahari tenggelam di ufuk, warna langit menjadi jingga menuju gelap, ia tak jua beranjak. Kemudian Uzair lari dari kenyataan, di pulau kedamaian.

Hari ini Uzair duduk sendiri di atas rumput yang lembut. Datarannya lebih tinggi dari sekitar, di bawah ada laut yang menghampar luas tak terbayang batas. Airnya jernih, hingga sinar matahri tembus sampai ke dasar. Terlihat ikan berkerumun dengan damai. Pantainya berpasir putih. Air laut menciptakan gradasi warna yang teratur dan lembut. Tiada sampah atau limbah. Semua terlihat alami seperti apa yang Tuhan ciptakan.

Di pulau ini Uzair sendiri mencari makna. Mengapa Tuhan menciptakan kehidupan, menciptakan manusia. Apa yang ada di dalam pikiran Tuhan. Ketika kumelihat alam, alam menjawab dengan keteraturan, kesempurnaan perhitungan dan kecantikan bentuk, yang memancing akal untuk berpikir. 

Seiring waktu, matahari tergelincir menuju ufuk, sembunyikan diri di batas carawala. Sinar sirna terganti gelap pekat yang gulita. 

Tak pelak suhu menurun drastis, menuju nol derajat, kulit bagai tergigit. Apa daya Uzair mencari tempat berlindung, mencari hangat dan ketenangan. Ada goa di ujung sana. Tepat di dalam hutan yang ada di belakang pulau. Goanya kosong tak berpenghuni, hingga suara menggema di dalam hampa dan sunyi yang kudus. Lantas Uzair menyalakn api, untuk mengahangatkan tubuh dari gigitan malam yang menusuk kulit. Dingin yang membunuh nafsu dan gairah. Api itu terasa hangat. Kehangatan adalah nyaman. Di dalam goa Uzair sendiri berbincang dengan diri, bercumbu dengan kesunyian, mencium angin dan membelai api. Rasanya api menjadi hidup.   


Uzair terus bermunajat, “Kehidupan memang seperti roda yang dinamis berputar, berpindah posisi atas & bawah, bak posisi bahagia & sedih. Namun rodaku ini teramat dinamis berputar. Baru saja kebahagiaan, keleluasaan, gelak tawa terasa, sudah menjelang lagi kesedihan, kekakuan, rasa tertekan menimpa.
Aku puas dengan semua yang kumiliki dalam hidup. Semua fisik, materi, harta benda, warga negara, agama, tempat tinggal, kelahiran, orang tua, dll. Namun untuk yang satu ini, aku sangat tidak bisa menerima, rasanya sangat menekan kuat, menganggu, mempersempit ruang gerak. Semua beku, sakit, pedih, kesal, marah, amuk, berontak. Gejolak membara yang tertutup ruang sempit ketakutan.
Aku ingin lepas belenggu ini selamanya. Aku ingin rubah hal yang satu ini. Hal yang membuat hidupku terasa sulit & bermasalah.
Mengapa Tuhan menurunkan hal yang satu ini kepada kehidupanku. Dan begitu dekat pula. Apa maksud semua ini. Kontrol sikap ? azab ?
Akan kubayar dengan harga yang mahal untuk menyingkirkan hal ini dalam sisi kehidupanku.
Aku merasa terbatas ruang gerak, ekspresi & kreasi olehnya. Pikiranku dibuatnya sibuk dengan tekanan mental, beban pikiran dan rasa yang tidak nyaman.
Kurasa Tuhan selalu menengar doa – doa ku, harapan terdalamku, bahkan mungkin kata – kata yang kutulis. Namun jawaban Tuhan atas pintaku yang terdalam tak juga terbalas jelas. Aku tak paham apa ini sudah dibalas dengan cara-Nya atau masih menunggu.
Aku ingin semua selesai. Selesai dari aduan atas hal ini. Aku ingin semua lepas. Lepas dari rasa tertekan, cemas, malu, takut.
Aku ingin terbebas, nafas pembebasan yang membuatku merasa nyaman berkreasi, ekspresi & bergerak tanpa bayangannya yang menteror.
Semua yang kurasa kini memang sudah membekas sejak dini. Tertanam kuat, sangat kuat dan terpelihara lama sekali.
Selalu terbersit keinginan untuk bertukar posisi dengan orang lain yang kulihat lebih baik kondisisnya. Namun selalu kutangkal bahwa setiap orang pasti memiliki problematika & rasa kekurangannya masing – masing yang berbeda – beda dengan kita. Maka tiada guna saling tukar. Semua toh memiliki sisi bahagia & sedihnya masing – masing.
Lalu, sampai kapan semua ini berjalan, sampai dimana semua ini berakhir. Aku bosan, aku lelah, aku marah pada diri sendiri. Sering kuumpat diri sendiri, merendahkan diri, benci pada diri sendiri. Karena merasa tak berguna, gagal, tolol, sampah yang terbuang, debu jalanan.
Rasanya ingin menghentikan waktu yang berputar, mengubah segalanya.
Selalu kehilangan selera untuk melakukan segala hal, jika problematika ini muncul, membuat rasa tertekan. Aku menjadi tidak berselera melakukan apapun. Kehilangan gairah, semangat, harapan.”

Cahaya pagi menembus masuk kedalam goa melalui celah – celah, Uzair mendapatkan dirinya terbangun. Ia tak sadar kapan dirinya terlelap dalam dingin dan pikiran yang berkelebat kacau tadi malam. Kemudian perut yang terasa lapar merangsang nalurinya ke luar menyusuri pulau yang sepi ini, mencari apa pun yang bisa dimakan. Di sisi lain pulau, ia menemui sebuah hutan pinus yang pohonnya berjajar rapih dengan jarak yang teratur. 

Ketika ia datangi hutan itu, tiba - tiba seberkas cahaya hijau menyilaukan pandangannya. Ia terkejut, sesosok makhluk astral muncul tanpa bentuk yang jelas, Uzair bertanya,
U : kamu dimana ?
A : disisi-Nya. Tempat yang damai & penuh kasih.
U : bagaimana cara mencapai tempat itu ?
A : melalui kematian.
U : apakah sakit ? aku ingin tahu rasanya.
A : kau tahu bagaimana manusia menciptakan Tuhan – Tuhannya ?
U : bukankah berhala – berhala itu sudah kuno, patung – patung disembah adalah sesuatu yang primitif dan tidak kita temukan saat ini.
A : tidakkah kau perhatikan bukan lagi patung sebagai berhala mereka.
U : lantas apa ?
A : manusia – manusia, materi – materi, pikiran – pikiran & sistem – sistem. Kau tahu ? apa yg mereka kejar itu sebetulnya refleksi kedalaman jiwa mereka yg teramat rindu.
U : Oleh apa ?
A : Rindu oleh Tuhannya, yg menjadi asal mereka dan tempat berpulangnya jiwa mereka.
U : Bagaimana bumi ini tercipta ?
A : Tuhan menciptakan dunia dalam 6 hari.
U : Lalu ada apa di hari ketujuh ?
A : Dia mengistirahatkan kita dari segala aktivitas pekerjaan dan memerintahkan untuk menyembah-Nya. Namun kita dapati kebanyakan lalai bersyukur.
……………………………………………………………………….
A : pejamkan matamu dan rasakan kesunyian, aku akan berbisik didalam mimpimu.

Berlanjut...

Rabu, 07 September 2011

Catatan Harian Solois Backpack + Itikaf + Mengunjungi Open House Tokoh Nasional

Tanggal 26-29 Agustus 2011, saya melakukan kegiatan Itikaf sendirian, 4 hari 3 malam di masjid Istiqlal, namun di malam ke 3 kawan saya datang turut bergabung. Beruzlah (menyendiri), mencari makna kehidupan, bermunajat.


Itikaf di Istiqlal sangat ramai, dimana – mana ada manusia. Berbagai macam karakter yang unik. Berbagai suku, ras dan etnis. Di setiap malamnya, saya mengisi dengan kegiatan jalan jalan malam sendirian, kecuali malam ketiga (bersama 1 orang kawan saya).

Inilah Urban Traveling yang saya lakukan selama 3 malam. Menjalani hidup sendiri, bebas rasanya. Lonely ranger. Cita-cita saya menjadi solois backpacker agak tercapai disini.

Malam pertama, menjelajahi Juanda & Kawasan Wisata Kuliner Pecenongan.

Pada awalnya, perjalanan saya malam ini betul – betul tidak terencana. Dan memang selama ini saya salah satu orang yang meyakini bahwa kegiatan yang tidak direncanakan alias dadakan / by accident / kebetulan, justru lebih seru dan berkesan daripada kegiatan yang sudah direncakan secara terperinci tapi biasanya justru gagal. 

Perjalanan saya ke juanda dan pecenongan berawal dari insiden yang seringkali menimpa beberapa orang di kamar mandi, yaitu alat mandinya jatuh ke jamban WC dan tidak bersedia untuk mengambilnya kembali. Lantas, apa daya, karena kegiatan itikaf saya baru saja dimulai dan masih ada 3 hari kedepan, maka saya harus membeli peralatan mandi baru, diantaranya : sikat gigi, sabun, shampoo & odol.

Awalnya saya hanya berniat mencari peralatan tersebut di koperasi masjid, tetapi sayangnya koperasinya tutup. Kemudian saya mencari – cari pedagang asongan yang menjualnya, ternyata tidak ada. Padahal begitu banyak pedagang berseliweran, tetapi mereka semua hanya menjajakan makanan & minuman. Lantas saya terpaksa keluar area masjid, Juanda menjadi tujuan pertama saya, karena tinggal nyebrang doank dan kawasan yang ramai oleh pedagang di area stasiun kereta api. 

Disitu kawasannya sangat urban, kawasan padat penduduk yang digagahi oleh angkuhnya apartemen eksklusif yang menjulang, serta tempat makan yang berjejeran tiada habisnya. Adapula alfamart, tapi sudah tutup, pukul 10 malam. Untungnya warung – warung disitu memiliki item dagangan yang lengkap. Lantas saya menemukan seluruh kebutuhan saya. Alhamdulillah. Selesai memenuhi kebutuhan yang cukup mendesak tersebut, saya tidak langsung kembali ke masjid. Rasa penasaran saya semakin menjadi – jadi untuk menjelajahi sepanjang jalanan dari Juanda sampai Harmoni. Sekitar setengah jam perjalanan itu saya tempuh, cukup melelahkan. Namun agak terbayar dengan sedikit cuci mata melihat restoran – restoran mewah sepanjang jalan dan juga kawasan wisata kuliner Pecenongan.

              Foto diatas bukan dokumentasi pribadi, tapi hasil dari situs pencarian, sebagai ilustrasi

Di kawasan wisata kuliner Pecenongan, kondisi masih ramai dipadati para pemburu kuliner, baik turis lokal maupun asing. Terdapat berbagai macam tempat makan, mulai dari warung tenda, cafĂ©, masakan china, kedai kopi sampai restoran mewah. Adapula hotel berbintang dan melati. Kesucian bulan ramadhan pun tak luput ternodai oleh wanita tuna susial yang menjajakan dirinya di hotel – hotel tersebut. Saya bisa menilainya dari penampilan, perilaku dan gaya bicaranya. 

                                  Ini merupakan salah satu sudut keramaian di Pecenongan

                                         Ini merupakan salah satu hotel di Pecenongan

Kebetulan saya menemukan minimarket lagi, kali ini buka sampai larut malam, mungkin 24 jam. Lalu saya membeli beberapa penganan untuk saya santap sendirian sembari begadang menghabiskan malam pertama di masjid istiqal. Sebungkus wafer dan sekaleng minuman soda saya beli. Alih – alih menemani romantika saya, minuman soda yang saya beli tersebut esok harinya justru menjadi sumbu kesialan saya pada dini hari. Sakit perut yang begitu menyiksa saya alami pukul 3 pagi. Keterbatasan kamar mandi serta jemaah yang ramai, membuat antrean yang mengular. Saya menahan sakit perut begitu lama dan menghabiskan waktu yang cukup lama pula di dalam kamar mandi, sehingga waktu sahur habis terbuang tanpa bersantap. Ini menjadi pelajaran bagi saya, agar tidak ‘belagu’ minum minuman soda lagi di saat yang tidak tepat.

Malam kedua, kawasan Monas.

Malam kedua saya sudah saya rencanakan akan menjelajahi kawasan Monas. Namun saya tidak tahu menahu akan ada tabligh akbar. Perjalanan ke monas saya tempuh melalui jalan pintas yang ada di sisi barat masjid. Sepanjang jalan tersebut ada beberapa restoran mewah, salah satunya adalah Es Krim Ragusa, Es Italia yang melegenda di kota Jakarta. Karena hanya satu – satunya dan sudah lama berdiri, sejak tahun 1932 tidak pernah kehilangan penikmatnya. Beberapa menit menempuh perjalanan, sesampai di Monas, kawasan sudah begitu ramai dipadati pengunjung dan pedagang.


Singkat cerita, setelah puas mengelilingi Monas di berbagai sudut, saya berlabuh pada sebuah keramaian jemaah sebuah pengajian yang menunggu dimualinya suatu acara akbar. Awalnya saya hanya ikut – ikutan sembari istirahat sejenak, meluruskan kaki. Kemudian acara dimulai, sebuah orasi dari seorang tokoh keagamaan diperdengarkan, isinya sarat dengan kritik sosial, politik dan ekonomi. Begitu menyindir pemerintah dan menyentil konglomerat. Membedah dan mengoyak sistem sosial-ekonomi di masyarakat yang menciptakan kemiskinan. Kegiatan ini semacam pergerakan sosial, revolusi. Ribuan jemaah dipergerakkan, kaum miskin dimobilisasi, elit yang korup dihujat.


Kegiatan tersebut usai pukul setengah 2 malam, lelah dan kantuk menggelayut, tanpa pikir panjang saya bergegas kembali ke masjid. Sepanjang perjalanan, sejauh mata memandang, rasanya kawasan monas habis merayakan tahun baru, sampah berserakan dimana – mana, koran, tikar dan berbagai alas duduk ditinggal begitu saja, menambah kerepotan petugas kebersihan. Di luar kawasan Monas ratusan jemaah sudah bersiap pulang dengan kendaraan yang disewa. Suara riuh menggema, teriakan sahur, takbir sampai gebukan gendang / drum. Saya tak ambil peduli, dan meneruskan perjalanan pulang. Sepanjang perjalanan pulang saya disuguhi pemandangan yang menjadi refleksi diri, sekumpulan gelandangan yang tidur di troroar & rerumputan dengan hanya beralaskan kardus. Hiburan mereka hanyalah tawa canda satu sama lain dan radio butut. Mungkin juga bintang malam yang memberi mereka senyuman.

                                                   Salah satu sudut Jakarta, dini hari

Malam ketiga, Monas sampai Bunderan HI.

Di malam ketiga ini, saya ditemani 1 orang teman kuliah saya di UI, Fajar Imam Zarkasyi. Beliau sudah sejak lusa berencana akan datang kemari ikut itikaf, sekalian mau menjelajahi kawasan Monas di malam hari. Singkat cerita, malam ini bukan lagi solois backpacker bagi saya, tapi duo.
Seperti malam – malam sebelumnya, acara jalan – jalan malam dimulai sehabis menunaikan salat tarawih. Jalur yang ditempuh pun juga sama. Sesampai di kawasan Monas, keramaian tak ubahnya seperti kemarin malam, hanya saja, pengunjung malam hari ini tidak didominasi jemaah pengajian. Lagi – lagi berbagai sudut Monas dijelajahi. Lalu, lagi – lagi pula, sebuah ide yang tak terencana tercetus : berjalan kaki menjelajahi jalan Thamrin, dari Monas pintu keluar yang menghadap BI sampai Bunderan HI. Kawan saya langsung sepakat tanpa berdebat. Sepanjang trotoar jalan Thamrin kami lalui, berbagai gedung pencakar langit bediri angkuh di kanan kiri, mobil melintas, semilir angin malam menerpa. Sesekali kami menghentikan perjalanan untuk berfoto ria.

                                          Foto - foto diatas yang jadi modelnya itu temen ane gan ! :)
                                                         


Tak terasa sampai di Bunderan HI, ide tak terencana terus menerus tercetus bagai rangkaian ledakan petasan yang merembet. Saya menawari melanjutkan perjalanan sampai jalan Sudirman dan sentra bisnis Kuningan, kawan saya setuju. Namun sebelumnya saya juga menawarkan ke Mall Grand Indonesia, tapi sayang, pukul setengah 11, mall sudah tutup, hanya XXI Cinema yang buka. Tanpa disengaja, kami melihat indomaret dibelakang gedung Plaza Indonesia, lalu kami kesana untuk membeli air mineral. Namun tak disangka, bahwa ternyata tepat di belakang Plaza Indonesia, ada kawasan pemukiman penduduk lengkap dengan kantor RW, tempat ronda siskamling, juga disertai rumah makan sederhana seperti warteg dan masakan padang, adapula pedagang kaki lima. Lantas, kami makan malam sejenak di sebuah warteg. Menu dan peralatan makannya memiliki kualitas diatas rata – rata warteg pada umumnya, karena warteg ini tepat di tengah kawasan kota yang elit, sentra bisnis & politik. Omzetnya pun dapat melampaui angka jutaan rupiah sehari, inilah alasan pemda DKI Jakarta berencana memungut pajak warteg.

Usai santap malam, kami merasa malas untuk melanjutkan perjalanan sampai Sudirman, selain jarak yang jauh, lelah, kenyang juga karena waktu yang larut. Kemudian kami berlabuh sejenak di Bunderan HI, betul – betul di Bunderannya. Disitu ada beberapa komunitas, fotografi, sepeda, dll. Seperti biasa kami berfoto ria, duduk – duduk dan menikmati Jakarta malam.

                                                                Ini baru ane gan ! :)


Puas dengan perjalanan malam ini, kami memutuskan kembali ke masjid Istiqlal. Untuk mempersingkat waktu, kami memilih naik mobil angkot. Cukup unik dan menggelitik memang, ada angkot di jalan protokoler, yang benar – benar menjadi pusat Jakarta. Dan sejauh pengetahuan saya menjelajahi Jakarta siang malam, angkot tersebut adalah satu – satunya angkot yang beroperasi di sepanjang jalan itu. Trayeknya pun saya tak tahu pasti dari mana sampai mana, tapi yang saya tahu, yang ke arah Istiqlal berakhir di Senen. Ongkos tak mahal, cukup merogoh kocek 2000 rupiah sudah turun di Juanda, dan tinggal nyebrang ke Istiqlal.
______________________________________________________________________________

"Rumput Tetangga Memang Lebih Hijau".
Kalo lagi di Masjid Istiqlal, selalu tergoda untuk ngeliatin Gereja Kathedral yang ada di seberang. Dengan gaya arsitektur Gothic Eropa, terlihat lebih seksi !
Dua iman yang saling berhadapan, simbol toleransi.


4 hari 3 malam kegiatan itikaf yang saya lakukan lumayan menjadi pelatihan alami pembentukan karakter. Melatih diri untuk mandiri, hidup dalam keterbatasan, saling berbagi dan mengasah kesabaran.

Buka puasa bersama dengan penuh kebersamaan, tidur tergeletak berjajar di karpet beramai-ramai, berbagi kesempatan menggunakan kamar mandi dengan penuh pengertian. Setiap malam kami solat tahajjud bersama. Banyak pula orang – orang Afrika yang datang dimalam hari saja untuk mengikuti tarawih dan solat tahajjud, lalu paginya mereka pulang. Kehadiran orang – orang Afrika tersebut memberi kesadarn bagi saya mengenai semangat Islam yang menentang rasisme dan mengedepankan kesetaraan manusia sebagai makhluk Tuhan. Kita berdiri sejajar, di barisan shaf yang sama, sujud bersama dan berdoa pada Tuhan yang sama. Kegiatan itikaf semacam ini seperti miniatur universitas. Universitas kehidupan. Nilai – nilai sosial, moral, etika dan kemanusiaan.

Berikut, dokumentasi pribadi dan beberapa hasil googling, kegiatan itikaf -->

                                              Salah satu majalah yang menemani saya

                                                Buka puasa yang penuh kebersamaan :)
                         
______________________________________________________________________________

Mengikuti Acara Open House Beberapa Tokoh Nasional

Hari ini, lebaran hari pertama di tahun 2011. Saya mengunjungi rumah Abu Rizal Bakrie & Agung laksono (mantan ketua DPR & mentri kesra) dalam rangka open house yang mereka adakan.

Melihat kemewahan mereka, saya meragukan semangat yang mereka umbar untuk membela rakyat miskin.

Saya kira wajar bagaimana kaum sosialita menjadi sekuler, mengikuti kegiatan mereka dalam satu hari saja sudah membuat kita terbuai kenikmatan dan melupakan sembahyang. Bayangkan, mereka melakukan hal – hal semacam itu sepanjang hidup mereka.

Baru kemarin saya merasakan “kamar mandi penjara” di Istiqlal dengan segala keterbatasan dan antrian yang panjang, sekarang di rumah ARB, kamar mandi saja begitu mewah, bahkan untuk tidur pun layak.

Esoknya, hari ke 2 lebaran saya mengunjungi rumah Fadel Muhammad (mentri kelautan & perikanan) & Setya Novanto (ketua fraksi Partai Golkar di DPR). Tak jauh berbeda dari 2 rumah pejabat sebelumnya : kaum sosialita, kemewahan & kuliner yang bergelimpangan.