Selasa, 30 April 2013

Hukum Low / High Trust Society

Di kelas 'Bisnis & Politik' seorang dosen mengajarkan sebuah adagium ini : low trust society = high cost society.

Dalam sebuah masyarakat yang memiliki tingkat saling kepercayaan yang rendah akan menimbulkan biaya ekonomi yang tinggi.

Mengapa demikian ? Contoh sederhanya dapat kita temukan dalam keseharian kita. Misalnya, ketika kita hendak berurursan dengan seorang profesional, seperti dokter, insinyur, arsitek, ahli ini, ahli itu, kita seringkali tidak mudah percaya begoitu saja dengan sertifikat kehalian yang mereka miliki. Yang akan kita lakukan untuk yakin akan keahliannya adalah dengan menanyai banyak orang tentang reputasi dan keasliannya. Maka dengan demikian, kita sudah mengulur banyak waktu dan tenaga untuk meyakini keahlian seseorang. Keraguan itu timbul karena kita sering menyaksikan sertifikat atau ijazah palsu. Contoh lainnya, adalah ketika ada seorang peminta sumbangan yang datang kepada kita. Alih - alih memberi sumbangan, seringkali kita curiga dan menghindar. Karena kita sudah mafhum bahwa peminta sumbangan seringkali palsu. Lalu bagaimana contoh untuk masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi ? Kita dapat melihat salah satu contohnya di Australia. Di negeri Kangguru tersebut, sebuah surat izin mengemudi hanyalah berupa secarik kertas yang menorehkan nama lengkap dan tempat serta tanggal lahir pengemudi. Tanpa foto dan identitas detil lainnya. Lantas, bukankah dengan demikian maka sang pengemudi bisa saja berbohong. Ternyata cara polisi meyakini keaslian kepemilikan SIM tersebut adalah dengan menanyakan tempat tanggal alhir si pengemudi. Jika si pengemudi dapat menjawabnya dengan lancar, maka artinya SIM tersebut benar - benar milik si pengemudi. Begitu tingginya tingkat kepercayaan di masyarakat tersebut. Alhasil, biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi sebuah SIM menjadi jauh lebih murah. Karena tidak harus mencetak foto, tidak membutuhkan kertas yang tebal dan mahal dan berbagai keefisienan lainnya.  

Di balik semua ketidakpercayaan yang merajalela itu, saya melihat sebuah oase kepercayaan dari sebuah warteg. Beberapa warteg yang kita temui memiliki sistem pembayaran prabyar. Artinya, kita makan dulu, baru setelah itu kita membayar dengan menyebutkan menu apa saja yang sudah kita ambil. Saya pikir, kenapa sih si tukang warteg begitu percaya kepada si pemebeli bahwa dia akan jujur menyebutkan menu apa saja yang sudah diambil. Sebaliknya, si pembeli kenapa sih begitu jujur untuk menyebut menu - menu yang mereka makan, padahal kan bisa saja ia berbohong agar biayanya lebih murah. Terlepas dari itu semua, jangan sampai kita mengkhianati kepercayaan yang sudah ditipkan oleh si tukang warteg kepada kita.

Sabtu, 27 April 2013

Batalyon Iblis


Kesedihan, ketakutan, rasa geram datang berderap
Berbaris rapih menggetarkan sukma
Mengetuk pintu jiwa
Mengobrak abrik pikiran yang tenang
Semua berat dan sesak
Merasa tak berguna

Kamis, 25 April 2013

Mengetik Kata


Ribuan kata kuketik
Dan kau membalas
Dialog yang mengisi ruang
Berbicara tanpa suara
Tertawa tanpa bahana
Kesedihan tanpa air mata
Kesenangan yang kuurai dalam karakter huruf, simbol dan angka
Lalu kau baca
Berharap kita terus melakukannya sampai habis pulsa

Rabu, 24 April 2013

Mengurung


Kau mengurung diri di dalam ruang
Bersama kepulan asap yang keluar bak cerobong
Sampai basah di lantai mengering
Jauh dari kerumunan

Rabu, 17 April 2013

Hujan Deras Telah Reda


Tadi kesedihan mengucur deras
Dari awan pikiran yang mendung
Hujan yang selalu kau rindukan
Karena Membasahi tanah jiwa yang gersang

Selasa, 16 April 2013

Genangan Kesedihan


Kau adalah bau kematian yang mengendap
Terendus oleh burung gagak yang menerkam
Kau adalah bangkai ayam yang membusuk dilalap cacing
Kau menjadi sekumpulan kesedihan yang berpendar
Luka yang tak mengering

Kebencian telah menyergapmu bersama ketakutan
Mengepung akal pikiran yang tumpul
Menaburi bunga duka pada hati yang longsor

Kau menjadi pengecut kehidupan
Yang lari bersama ketakutan akan sekumpulan manusia yang seakan memangsa

Perasaan tak enak di dada membuatmu menghindar dari interaksi
Pikiran – pikiran yang menipu

Puisi – puisi mu hanya menjadi koran yang dijadikan bungkus kacang tanah
Kemudian dibakar dan menjadi abu

Kau selesaikan saja urusanmu sendiri
Jangan libatkan orang lain
Kau memang membosankan, membingungkan, tak memberi kejelasan atau penghiburan

Berdiri saja bersama kakimu sendiri
Jangan libatkan orang lain
Kau yang harus hadapi semua ini seorang diri

Jangan tenggelam dalam kegembiraan
Jangan pula terseret arus kesedihan

Kau terbuang dari keintiman relasi
Kau memang kesalahan total
Orang – orang bosan mendengar ocehanmu
Muak melihat wajahmu
Benci mendengar tawamu

Kau terlalu percaya diri
Pada pujian – pujian
Melayang pada khayalan – khayalan

Kau caci terus dirimu sampai tinta habis
Sampai kata cacian pun tak bisa lagi mendefinisikan dirimu

Matamu berlinang oleh genangan air mata yang tak mau jatuh menetes
Coba kau pertahankan emosi ini terus menerus
Karena inilah realitasmu
Genangan kesedihan

Minggu, 14 April 2013

Tatapan Kebencian



Tatapan kebencian yang meluncur dan menusuk tajam
Kumpulan mata tak bertuan
Di ruang gelap pekat mata itu menyala terang
Menyorot pada tubuh yang rubuh dan tak berjiwa di tengah ruang
Si tubuh yang kehilangan jiwa itu tak tahu kemana arah
Tak tahu pula ia, darimana kebencian yang menyerbu berasal
Yang ia tahu hanya rasa takut, benci & malu yg terus mengepung
Walau kegembiraan kadang datang menyapa dengan manja
Tatapan kebencian & perasaan yang mengusik itu tak juga hengkang
Ia seperti berumah di dalam alam pikiran yg tak terjamah
Mungkin juga ia berasal dari masa lalu yang gelap dan tak bisa diingat
Asal muasal kebencian , ketakutan dan rasa malu itu tak juga bisa ditemukan
Walaupun refleksi diri sudah berulang kali dilakukan
Mencari cermin sosial yang mengkonstruksi jiwa
Menelusuri hutan rimba ilmu pengetahuan
Mencoba berbagai teori  untuk menjelaskan