Di kelas 'Bisnis & Politik' seorang dosen mengajarkan sebuah adagium ini : low trust society = high cost society.
Dalam sebuah masyarakat yang memiliki tingkat saling kepercayaan yang rendah akan menimbulkan biaya ekonomi yang tinggi.
Mengapa demikian ? Contoh sederhanya dapat kita temukan dalam keseharian kita. Misalnya, ketika kita hendak berurursan dengan seorang profesional, seperti dokter, insinyur, arsitek, ahli ini, ahli itu, kita seringkali tidak mudah percaya begoitu saja dengan sertifikat kehalian yang mereka miliki. Yang akan kita lakukan untuk yakin akan keahliannya adalah dengan menanyai banyak orang tentang reputasi dan keasliannya. Maka dengan demikian, kita sudah mengulur banyak waktu dan tenaga untuk meyakini keahlian seseorang. Keraguan itu timbul karena kita sering menyaksikan sertifikat atau ijazah palsu. Contoh lainnya, adalah ketika ada seorang peminta sumbangan yang datang kepada kita. Alih - alih memberi sumbangan, seringkali kita curiga dan menghindar. Karena kita sudah mafhum bahwa peminta sumbangan seringkali palsu. Lalu bagaimana contoh untuk masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi ? Kita dapat melihat salah satu contohnya di Australia. Di negeri Kangguru tersebut, sebuah surat izin mengemudi hanyalah berupa secarik kertas yang menorehkan nama lengkap dan tempat serta tanggal lahir pengemudi. Tanpa foto dan identitas detil lainnya. Lantas, bukankah dengan demikian maka sang pengemudi bisa saja berbohong. Ternyata cara polisi meyakini keaslian kepemilikan SIM tersebut adalah dengan menanyakan tempat tanggal alhir si pengemudi. Jika si pengemudi dapat menjawabnya dengan lancar, maka artinya SIM tersebut benar - benar milik si pengemudi. Begitu tingginya tingkat kepercayaan di masyarakat tersebut. Alhasil, biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi sebuah SIM menjadi jauh lebih murah. Karena tidak harus mencetak foto, tidak membutuhkan kertas yang tebal dan mahal dan berbagai keefisienan lainnya.
Di balik semua ketidakpercayaan yang merajalela itu, saya melihat sebuah oase kepercayaan dari sebuah warteg. Beberapa warteg yang kita temui memiliki sistem pembayaran prabyar. Artinya, kita makan dulu, baru setelah itu kita membayar dengan menyebutkan menu apa saja yang sudah kita ambil. Saya pikir, kenapa sih si tukang warteg begitu percaya kepada si pemebeli bahwa dia akan jujur menyebutkan menu apa saja yang sudah diambil. Sebaliknya, si pembeli kenapa sih begitu jujur untuk menyebut menu - menu yang mereka makan, padahal kan bisa saja ia berbohong agar biayanya lebih murah. Terlepas dari itu semua, jangan sampai kita mengkhianati kepercayaan yang sudah ditipkan oleh si tukang warteg kepada kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar