“…Apakah kita ingin menyingkirkan rasionalitas kita. Kembali hidup seperti makhluk primitif, saling membunuh dan tidak lagi menghargai nyawa manusia?...”
Jika tulisan ini sampai pada pembaca, maka itu berarti aku sudah berakhir di tiang gantungan hukuman mati atau aku sudah pergi meninggalkan penjara.
Aku ingin menceritakan secara singkat sebuah pergulatan hidup selama di penjara.
Penjara tersebut memiliki lorong yang panjang. Ujungnya gelap, lantainya dingin, dengan tembok yang penuh lumut. Suara rintihan terdengar mengerang dari sela – sela lubang pintu besi yang tebal dan berdiri angkuh. Bau anyir tercium. Amisnya darah yang sudah mengering.
Aku sudah lama menghuni penjara ini. Tinggal sendiri didalam sebuah ruangan yang sempit dan gelap. Hidup bersama ketakutan dan kesepian. Bahkan kami berbicara dengan cara yang tak biasa dengan sesama penghuni penjara. Kami saling mengetuk dinding kamar. Entah bagaimana terbentuk semacam kesepakatan bahasa ketukan. Jumlah ketukan tembok mengandung makna tertentu.
Tidak banyak yang bisa aku lakukan di penjara ini. Setiap hari aku hanya merenung dan menulis. Menuangkan segala kegelisahan. Pulpen dan kertas menjadi teman bicara yang setia, yang selalu mendengarkan tanpa pernah memberi jawaban.
Mungkin kita sering mendengar tentang orang – orang besar dan berpengaruh yang namanya tercatat di dalam sejarah, mereka merupakan orang – orang lulusan universitas kehidupan yang dinamakan penjara. Mereka mendekam di dalam penjara selama bertahun – tahun. Namun tebalnya tembok penjara dan gelapnya ruangan yang mereka huni, tidak memadamkan api yang berkobar di dalam hati mereka. Pikiran mereka tetap memberikan pencerahan. Beratus – ratus halaman, berjilid – jilid buku mereka hasilkan selama di dalam penjara ataupun rumah tahanan. Seperti Nelson Mandela, Pramoedya Ananta Toer, Mahatma Ghandi, Soekarno, Adolf Hitler, Buya Hamka, Aung San Suu Kyi, dll. Dengan kata – kata yang mereka rangkai selama di dalam penjara, mereka meneytir emosi jutaan orang di luar sana. Melakukan perubahan dengan tinta.
Mereka adalah orang – orang yang pikirannya masih tetap terbuka dan api di dalam jiwanya tidak bisa dipadamkan dengan kekejaman penjara, orang - orang yang jiwanya tetap bebas di dalam kondisi yang tertekan. Namun kita menyaksikan, banyak pula orang – orang yang hidupnya bebas di luar penjara, tetapi jiwa dan pikirannya terpenjara dengan kebodohan. Kau tahu sobat, seharusnya kita tidak terpenjara oleh kefanatikan kita, harta benda kita, kesombongan kita, kejumudan kita. Kita harus menjadi manusia – manusia bebas. Merawat kebebasan dan membawa pencerahan.
Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana kabarnya dunia luar. Apa yang terjadi terhadap segala hal, selama aku di penjara ini. Aku sudah merindukan siraman sinar matahari. Bagiku, siang dan malam sama saja. Karena sepanjang hari hanya kegelapan yang aku saksikan. Melihat sinar matahari yang lolos melalui celah atap yang bolong saja sudah beruntung.
Aku sudah tidak bisa mengingat sudah berapa lama mendekam di dalam penjara ini. Tidak ada kalender di tembok. Hanya jam dinding saja yang detakan jarumnya berbicara bahwa waktu terus berjalan, berjalan maju menuju masa depan. Aku rasa sudah banyak perubahan di luar sana. Aku terkadang hanya tahu musim apa sekarang, melalui menu makanan yang disediakan oleh sipir penjara.
Hal yang mungkin aku ingat, bahwa sesuatu yang licik telah membuatku mendekam di penjara ini. Aku telah dijebak pada peradilan palsu.
Aku merasa masih sangat beruntung, karena dapat menikmati santapan makanan yang disediakan. Temanku yang ada di ruangan sebelah sudah menyantap banyak tikus yang berkeliaran di penjara ini, entah karena masih lapar atau tidak berselera dengan menu yang disediakan penjara atau bahkan ia tidak mendapatkan jatah makanan. Aku tidak bisa membayangkan apa yang ia rasakan selama ini.
Oh… kemanusiaan, telah dipasung dan pada akhirnya dipancung. Seperti terpidana mati yang aku saksikan dulu, kepalanya dipancung, setelah itu menggelinding, mukanya sudah dingin tanpa nyawa. Tidakkah mereka menghargai kehidupan ? Setiap manusia lahir dengan hak dasar. Hak untuk hidup, hanya Tuhan yang berhak menghilangkan nyawa manusia. Mereka yang membunuh telah melanggar kedaulatan Sang Arsitek alam semesta. Mereka kenakan baju Tuhan : kesombongan. Sang raja yang penuh dusta pada akhirnya akan roboh.
Kami harus menyaksikan kejadian horror itu, ekseskusi mati, setiap pelaksanaannya. Mungkin untuk menteror mental kami. Desas desus yang beredar bahwa narapidana yang ada akan dipilih secara acak untuk dibunuh. Karena penjara penuh, maka kamar harus ada yang kosong demi narapidana yang baru masuk. Narapidana yang mati dibunuh itu mayatnya entah dikubur dengan cara yang baik atau dagingnya dijadikan santapan penjara. Kami tidak tahu.
Di penjara mereka bisa mengurungku secara fisik, tapi mereka tidak akan pernah bisa mengurung imajinasiku. Aku menguasai dunia dengan imajinasiku, bereksperimen dengan imajinasiku, mencari kebebasan & kemerdekaan. Selama ada buku dan pulpen ini, aku terus menulis, mengembangkan imajinasiku, memperluas cakrawala, menuangkan perenungan, menelurkan pemikiran & gagasan. Aku tidak pernah terpenjara karena aku tetap bebas berpikir dan kelak jika aku mati, pemikiranku tidak akan mati. Apa yang sudah kutulis akan berbicara lebih lantang sepeninggalanku.
Kita tidak akan pernah bisa mengejar kebebasan & kemerdekaan. Karena kebebasan bukan di luar sana melainkan berada di dalam diri kita masing – masing. Ciptakanlah makna kehidupanmu sendiri, maka kebahagiaan akan mengikuti serta merta kebebasan & rasa merdeka. Dimanapun kita berada.
“Kita adalah serigala bagi diri kita sendiri. Seorang manusia yang hebat bukanlah mereka yang dapat menakuti orang sekampung, menghilangkan nyawa manusia, atau mengobarkan peperangan. Tetapi mereka yang dapat menguasai dirinya sendiri. Mengalahkan rasa takutnya dan mengatur amarahnya. Musuh setiap manusia ada didalam diri mereka sendiri. Bahkan perbudakan terbesar dalam sejarah peradaban manusia bukanlah perbudakan oleh orang kulit putih kepada orang kulit hitam, ataupun perbudakan bangsa barat kepada bangsa timur. Melainkan perbudakan oleh nafsu terhadap jiwa – jiwa manusia. Nafsu untuk berkuasa, memiliki harta benda, membunuh, merampas dan lain sebagainya. Perbudakan oleh kefanatikan. Kefanatikan kita terhadap sesuatu yang kita yakini benar hingga menjadi alasan untuk membunuh.”
Waktu Berlalu.....
Pada akhirnya aku keluar dari penjara. Pada hari, tanggal, bulan dan tahun yang sudah tak kuhafal. Namun sekarang tak ada lagi tujuan berpulang, rumah ataupun keluarga. Kini aku menjadi anak semua bangsa yang tinggal di bumi manusia. Kemudian menyusur segala penjuru dunia. Menapak kaki pada tanah yang basah. Merasakan siraman sinar matahari yang hangat. Udara yang kuhirup adalah nafas kebebasan.
Berjalan – jalan
Berjalan – jalan
Berpeluh – peluh
Berkilo – kilometer
Keringat menetes
Tubuh yang ringkih
Terpanggang terik matahari
Baju lusuh
Tas rusak
Menemani
Mata yang kosong makna
Menatap dengan pesimisme
Kekecewaan yang dalam
Atas pertanyaan yang tak terjawab
Dan pencarian yang tak pernah selesai :
“Kenapa Tuhan menciptakan manusia ?”
“Apa yang ada di dalam pikiran-Nya ?”
Hotel Prodeo : Penjara
Darimana seorang anak manusia lahir?
Dari rahim ibunya
Seorang pelacur melahirkan anaknya
Dari seorang Bandar narkoba, penjudi sekaligus pemabuk
Yang membungkam hukum dengan Tuhannya, uang
Konon penjara adalah tempat pemberhentian terakhir bagi karir para penjahat
Setelah itu mereka taubat kembali pada jalan yang benar
Tapi lidah tak bertulang, janji tinggallah janji
Hukum adalah ilusi bagi mereka yang berimajinasi
Tentang kehidupan yang sejahtera
Negeri khayalan yang tak pernah ada
Lalu bila uang yang berbicara
Moral diruntuhkan dengan cara yang hina
Ketika sudah tidak ada lagi tempat yang nyaman untuk berteduh. Pun seseorang untuk teman bicara. Ketika sudah merasa terjepit. Kita harus memikirkan diri masing – masing. Bukan masalah individualistis bung, tapi mempertahankan kehidupan. Karena negara sudah tidak dapat mengayomi. Mereka hanya menjadi mesin pembunuh. Harapan akan perubahan sudah dimatikan. Cahaya kebebasan sudah dipadamkan. Hanya lilin kecil yang kita pegang masing – masing. Itulah cahaya yang akan menjadi teman perjalanan hidup kita.
Mungkin bersambung, kalau ada ide, waktu & umur.... :P
Tidak ada komentar:
Posting Komentar