Minggu, 15 Mei 2011

MENYAMBUT INDONESIA BARU SEBAGAI NEGARA MASA DEPAN

Tahun 2030 sebuah dunia baru akan lahir. Konfigurasi kepemimpinan bangsa – bangsa mengalami perubahan. Konstelasi politik bergeser. Masyarakat internasional akan menyaksikan sebuah era baru yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Jika saat itu tiba, maka planet bumi yang sudah kritis dengan berbagai peperangan dan bencana, telah memberi kesempatan bagi persatuan dunia atas nama kemanusiaan untuk menikmati perdamaian dan Cinta Kasih. Karena Indonesia telah bangkit menjadi sebuah negara super power. Secara geografis, Tuhan meletakkan Indonesia di tengah - tengah dunia melewati sebuah garis yang membelah bumi menjadi 2. Namun Indonesia bukan saja teras surga firdaus yang jatuh di sabuk khatulistiwa atau sepotong kue ulang tahun dari malaikat jibril, tetapi juga sebuah kemutlakan sejarah untuk lahir sebagai bangsa yang besar dan disegani.

Suatu ketika, seorang turis singapura berkunjung ke Indonesia dan melihat potensi alamnya seraya berkomentar : seharusnya bukan dunia yang mengatur Indonesia, tetapi Indonesia yang mengatur bulat lonjongnya dunia, karena semua yang dibutuhkan dunia ada di bumi Indonesia. 

Mengapa kita selalu pesimis akan potensi bangsa ini. Bangsa ini membutuhkan sikap yang optimis, sikap yang lebih positif dalam membangun negaranya. Tidak masuk akal kalau kita tidak bisa berubah. Tantangan besar yang harus kita hadapi ke depan menuntut adanya perubahan itu. Setengah abad yang lalu bung Karno mengatakan REVOLUSI BELUM SELESAI. Dan revolusi akan selesai ketika saatnya masyarakat hidup sejahtera dan Indonesia memimpin dunia.

Menjadi manusia Indonesia yang seutuhnya tidak harus menjiplak bangsa lain. Menggali jiwa yang cocok untuk kita tanpa harus meniru bangsa asing. Pancasila adalah suatu ideologi yang mengakomodir ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Sosialisme pancasila butir ke 5 menjawab kolektivisme dan masyarakat ideal kaum sosialis komunis. Sedangkan humanisme dan demokrasi pancasila pada butir ke 2 dan 4 memberi ruang bagi kebebasan individu ala liberalis kapitalis. Sehingga ideologi yang kita anut dapat terus bertahan di berbagai zaman menjawab setiap problematika kehidupan dan memberi solusi.

Jika Amerika memiliki George Washington dan Thomas Jefferson sebagai tokoh revolusi yang mendeklarasikan kemerdekaan, kita memiliki Soekarno, putra sang fajar yang telah mengguncang dunia. Jika India memiliki Mahatma Ghandi dan Ibu Theresa yang egaliter dan pasifis, kita memiliki Mohammad Hatta dan Muhammad Natsir, tokoh nasional yang memiliki ilmu setinggi langit tetapi hatinya sedalam dan seluas samudera. Jenderal Sudirman, di tahun 1945 itu umurnya baru 30 tahun. Dia mungkin adalah salah satu pemimpin perang termuda dan terbesar di dunia setara Alexander the Great dan Napoleon. Jika Hollywood memiliki kisah epik The Lord of The Rings, Indonesia memiliki kisah Ramayana dan legenda wayang pandawa yang memiliki kompleksitas kisah dan pertempuran yang jauh lebih dahsyat. Kita memiliki Gunung muria di Jawa Tengah yang memiliki kekuatan spiritual yang tidak kalah dengan Gunung Fuji di Jepang maupun Gunung Zion di Yerusalem ataupun Bukit Sinai tempat dimana Musa mendapatkan firman Tuhan.

Peperangan terhadap independensi bangsa masih terus berlangsung hingga saat ini sejak kita dijajah selama ratusan tahun lamanya. Kenapa bukan kita yang pegang kendali terhadap sistem perekonomian dan pengelolaan tambang di bumi Indonesia. Bisa anda bayangkan 92% minyak bumi Indonesia dikelola oleh perusahaan minyak asing, Sedangkan Pertamina hanya mendapatkan jatah 8%. Ketika keputusan untuk menyerahkan pengelolaan tambang minyak kepada asing diputuskan, jajaran direksi Pertamina berkelit bahwa SDM dan teknologi Pertamina tidak mampu untuk mengelola tambang minyak di Indonesia, serta masalah keuangan yang tidak memadai. Padahal, seiring dengan pergantian direktur utama Pertamina, pejabatnya adalah mereka yang berpengalaman menjadi direksi di Caltex, Exxon, dll. Sedangkan masalah keuangan, sudah banyak bank – bank yang mengantri untuk memberikan bantuan dana. Bahkan yang lebih menyakitkan hati adalah masalah pembuatan UU migas yang terbaru. Bahwa perancangan UU tersebut adalah hasil dari saran oleh USAID (U.S. Agency for International Development). Di dalam UU tersebut disebutkan bahwa Pertamina bereda sejajar dengan perusahaan – perusahaan asing, sehingga BUMN kita sendiri yang seharusnya menyejahterakan rakyat tidak memiliki kedaulatan.
Pemerintah sudah diinfiltrasi oleh komprador yang bertekuk lutut untuk kepentingan asing atau paling tidak mereka telah dicuci otaknya untuk menghapus jiwa Indonesia, Mafia Berkeley. Arus kuat korpotokrasi telah menanamkan cakarnya di Indonesia sejak tim ekonomi yang dipimpin oleh Sumitro Djojohadikusumo pada masa Soeharto pergi ke Swiss pada akhir 1960an untuk menawarkan pengelolaan kekayaan alam Indonesia. Korporasi multinasional sudah melebihi kekuasaan sebuah negara. Mereka seperti sebuah Imperium besar yang memiliki pendapatan yang berkali lipat jauh lebih besar dari negara maju sekalipun. Sehingga konsep negara bangsa seakan hilang tanpa kedaulatan.

Kebanyakan demonstran di Indonesia yang mengaspirasikan suaranya hanya karena dibayar. Maka dari itu yang penting adalah pemenuhan urusan perut. Jika perut kosong dan kita terus menerus kencangkan ikat pinggang, rakyat tidak akan mau diajak bicara idealisme, demokrasi ataupun sebuah Negara super power. Peduli setan pertimbanagn moral. Yang penting perut kenyang, dapur ngebul. Oleh karena itu penguasaan atas SDA sangatlah penting, agar pendapatan Negara bertambah untuk menyejahterakan rakyatnya. Jangan lagi kita melihat Indonesia yang ditertawakan dunia karena pemilu yang begitu kacau, pemimpin yang penuh kebohongan dan rakyat yang ditipu. 

Perihal sumber daya manusia Indonesia, berdasarkan statistik, di suatu bangsa biasanya dari 11.000 orang akan ada 1 orang genius. Maka di Indonesia yang berpenduduk 230.000.000 seharusnya ada lebih dari 20.900 orang-orang genius. Bukan sekedar genius biasa, tapi yang ber-IQ 160, atau setara Einstein. Sudah banyak remaja – remaja Indonesia yang menoreh prestasi di level internasional dalam bidang sains. Namun substansi dari ilmu pengetahuan yang kita pelajari bukanlah hanya untuk mendapatkan predikat juara di dalam perlombaan, tetapi juga konstribusi kita untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa kita dengan teknologi. Doktor Terry Mart adalah satu dari sekian banyak ilmuwan kita yang kejeniusannya justru dinikmati bagsa asing. Jika anda pernah mendengar kereta maglev atau kereta terbang yang memiliki kecepatan peluru di Jepang, berbanggalah bangsa kita karena material dasar untuk merancang kereta tersebut adalah ciptaan Dr. Terry Mart, seorang ilmuwan fisika yang sekarang masih mengabdi di Universitas Indonesia. Di Amerika Serikat, mahasiswa termuda yang mendapatkan gelar doktor pada usia 24 tahun adalah Nelson tansu, mahasiswa berkebangsaan Indonesia.
Ketika kita masih berbicara masalah swasembada beras bangsa – bangsa maju sudah lebih dulu melakukan rekayasa genetika untuk teknologi pangan. Ketertinggalan ini harus kita kejar sebelum kita dilindas oleh derasnya dinamika zaman dan terbuang di dalam tong sampah sejarah dunia.

Tidak ada negeri yang miskin, yang ada hanya negeri salah urus. Potensi SDM dan SDA yang dimiliki Bangsa Indonesia hanyalah deretan angka statistik jika kita tidak mengelolanya dengan baik. Kita sudah memiliki segalanya, tinggal bagaimana menerjemahkan mimpi menjadi kenyataan. 

Karakter masyarakat kita yang sangat prulalistik dan heterogen adalah kekuatan yang kita miliki untuk bersatu dan bangkit. Ke depan, jadikanlah perbedaan sebagai dinamika yang mewarnai kehidupan kita. Jangan jadikan perbedaan sebagai mesin pembunuh kebebasan.

Ketika kita berbicara perihal kebebasan, yang saya maksudkan bukanlah suatu gagasan asing yang akan menggeser nilai – nilai dasar yang telah kita anut bersama dan telah menjadi konsensus nasional. Melainkan kebebasan dari pandangan sempit yang membuat kita melakukan kekerasan tanpa saling memahami. Kita tidak ingin suatu saat keturunan – keturunan kita hidup di dunia yang mempertontonkan kekerasan, pembunuhan dan pemekorsaan menjadi hal yang wajar.

Sehingga suatu saat kita bisa melihat sebuah kehidupan tata dunia baru yang harmonis dan romantik, karena kita bisa hidup di tengah-tengah perbedaan yang kita bina bersama. Kita akan selalu saling menghormati dan menghargai. 

”Oleh karena rasa kebangsaanlah, maka bangsa-bangsa yang terbelakang lekas mencapai peradaban, kebesaran dan kekuasaan. Rasa kebangsaanlah yang menjadi darah yang mengalir dalam urat-urat bangsa-bangsa yang kuat, dan rasa kebangsaanlah yang memberi hidup kepada tiap-tiap manusia yang hidup.” Sukarno, mengutip Mustafa Kamil (tokoh pejuang Mesir), Indonesia Menggugat.

Butuh proses bagi sebuah bangsa untuk mencapai suatu perubahan. Kita baru menjalani reformasi selama 10 tahun, baru seumur jagung untuk bisa berubah menjadi negara yang adidaya. Kalau kita mau belajar dari bangsa- bangsa yang sudah menjadi pemimpin dunia, mereka sudah mengalami proses yang sangat lama untuk berubah. Berbagai macam tempaan, tamparan dan cambukan telah mendewasakan mereka menjadi bangsa yantg besar. Jepang melakukan restorasi sejak tahun 1860an dan mereka baru mencapai puncak kejayaannya di penghujung abad ke 20. China sudah mengupayakan berbagai berbagai perubahan semenjak abad ke 10, dan mereka baru menjadi sang naga raksasa di penghujung abad 20. Amerika Serikat telah melakukan perubahan sosial dan politik di saat Abraham Lincoln berkuasa, yaitu di tahun 1880an, dan mereka baru memetik jerih payahnya pergulatan demi sebuah perubahan pasca perang dunia ke 2, dengan menjadi negara adidaya dan superpower. Kita tidak perlu menyesali keterlambatan bangsa ini dalam melakukan perubahan dan pembangunan, yang perlu kita lakukan saat ini adalah memetik pelajaran masa lalu sebagai referensi untuk melangkah ke depan dengan harapan yang terang benderang.

Sebuah kebijaksanaan China kuno berpendapat, lebih baik menyalakan 1 lilin kecil daripada mengutuk kegelapan. Lebih baik belajar dari masa lalu dan melihat ke depan sebuah Indonesia baru, kemudian kita bekerja untuk masa kini, daripada terus menerus merintih dan pesimis terhadap kondisi bangsa saat ini.
Jika mata anda jeli di depan kita ada sebuah obor yang akan kita nyalakan dengan lilin harapan yang kita pegang. Dan setiap obor yang kita bawa adalah semangat perubahan untuk menyalakan pelita cahaya cita - cita masa depan.

Rasa Cinta Kasih dan kesadaran yang akan meyatukan Tuhan, manusia, dan alam semesta. Merintis jalan kebenaran membawa perubahan. Berdiri tegak melawan arah. Sampai pada akhirnya kita menyambut sebuah dunia baru.

-Taufik Daulay-
18 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar